Menelusuri Dunia Octopath Traveler: Ketika Wisata dan Fantasi

Octopath Traveler

Jakarta, nintendotimes.com – Ketika pertama kali memainkan Octopath Traveler, saya tidak menyangka akan jatuh cinta. Bukan hanya karena gameplay-nya yang penuh strategi, tapi karena dunia yang disuguhkan begitu… memikat. Jujur, terasa seperti sedang liburan virtual ke tempat-tempat yang nggak nyata, tapi terasa nyata. Inilah yang bikin saya tertarik untuk menyelami lebih dalam: bagaimana sebuah game bisa membuat kita merasa seperti sedang traveling?

Octopath Traveler, dikembangkan oleh Square Enix, adalah RPG (Role-Playing Game) bergaya klasik yang pertama kali dirilis untuk Nintendo Switch pada 2018, dan kini hadir juga di PC dan platform lain. Tapi bukan soal mekanisme bertarung atau plot cerita yang bikin game ini spesial—melainkan dunia yang dibangunnya.

Bayangkan saja: padang rumput yang luas, desa-desa pegunungan bersalju, reruntuhan kuno di tengah gurun pasir, hingga kota pelabuhan dengan sinar matahari keemasan yang membias di permukaan air. Semua digambarkan dengan teknik HD-2D, yaitu perpaduan antara pixel art klasik dengan efek pencahayaan modern. Hasilnya? Ajaib.

Saya ingat malam itu, saya sedang main sebagai karakter Tressa, si pedagang muda yang memulai petualangannya dari pelabuhan kecil bernama Rippletide. Laut berkilauan, cahaya lampu kota terlihat redup di kejauhan, dan musiknya… menghipnotis. Rasanya seperti duduk di dermaga pada senja hari, sambil memandangi kapal yang berlayar.

Dunia Orsterra—Inspirasi Fantasi dari Wisata Dunia Nyata

Octopath Traveler

Meski berbasis fantasi, Octopath Traveler tidak menciptakan dunia dari nol. Banyak lokasi di dalam game yang terinspirasi dari tempat-tempat nyata di dunia ini—dan inilah yang membuatnya terasa sangat hidup dan relatable.

1. Flamesgrace dan Alpen Swiss

Kota ini tertutup salju, dengan katedral menjulang di atas bukit dan pepohonan pinus di sekelilingnya. Saat menjelajahi Flamesgrace bersama Ophilia, saya langsung teringat pada pegunungan Alpen di Swiss atau bahkan desa-desa kecil di Norwegia. Cahaya biru keunguan malam hari, jalanan sempit berlapis salju, dan suasana spiritual yang kuat membuatnya mirip seperti perjalanan ke tempat ibadah di pegunungan Eropa.

2. Sunshade dan Nuansa Timur Tengah

Sunshade adalah kota oasis yang berada di tengah gurun. Dengan arsitektur kubah, pencahayaan keemasan, dan pasar yang ramai, kota ini mengingatkan pada citra klasik kota-kota seperti Marrakesh atau Kairo. Bahkan, musik latarnya menggunakan alat musik string yang khas Timur Tengah.

3. Atlasdam dan Oxford Abad Pertengahan

Kota Atlasdam, tempat asal karakter Cyrus, si akademisi, adalah kota pelajar yang penuh perpustakaan dan menara-menara. Sekilas, rasanya seperti menjelajahi kota universitas di Inggris, seperti Oxford atau Cambridge, lengkap dengan arsitektur batu tua dan suasana intelektual.

Ini yang membuat Octopath Traveler lebih dari sekadar game. Ia adalah surat cinta untuk para pengembara, terutama mereka yang saat ini belum bisa ke mana-mana secara fisik. Dalam dunia game ini, kita bisa menyusuri hutan, menyeberangi jembatan kayu di atas sungai deras, hingga duduk di bangku batu kota kecil sambil melihat matahari terbenam.

Gaya Bercerita Non-Linear, Seperti Menyusun Itinerary Sendiri

Satu hal unik dari Octopath Traveler adalah cara ceritanya disampaikan. Alih-alih satu narasi utama, game ini punya delapan karakter utama—masing-masing dengan kisah dan motivasi sendiri. Dari sini nama “Octopath” berasal: delapan jalur, delapan cerita, tapi semuanya terjadi dalam satu dunia.

Sebagai traveler (dan gamer), ini seperti menyusun itinerary sendiri. Mau mulai dari kota pesisir, pegunungan, atau padang gurun—semuanya bebas. Bahkan bisa memilih urutan perjalanan sesuka hati. Serasa lagi backpacking dan memutuskan sendiri rute hari ini mau ke mana.

Contoh menarik? Ketika saya memainkan Primrose, si penari dari Sunshade, saya sengaja menggabungkannya dengan cerita H’aanit, si pemburu dari desa hutan S’warkii. Rasanya seperti memulai perjalanan dari padang pasir menuju hutan tropis—kontras visual dan atmosfernya terasa banget.

Cara ini sangat disukai pemain yang suka eksplorasi dan tidak suka dikekang narasi linear. Ini bukan hanya soal menyelesaikan cerita, tapi mengalami dunia Orsterra sesuai keinginan kita.

Visual, Musik, dan Detil Kecil yang Membuat Dunia Terasa Nyata

Visual dalam Octopath Traveler adalah mahakarya. Dengan gaya HD-2D, dunia pixel art klasik yang biasa kita temukan di game SNES sekarang diberi efek kedalaman, bayangan dinamis, dan pencahayaan ala film sinematik.

Tapi bukan cuma visual yang menghidupkan dunia ini. Musik garapan Yasunori Nishiki memainkan peran besar. Setiap kota punya tema musik sendiri yang mencerminkan suasana dan sejarah tempat itu. Rippletide, misalnya, punya lagu dengan melodi laut dan semilir angin. Sementara Wispermill—desa sepi dengan legenda gelap—punya musik yang misterius dan melankolis.

Bahkan detil-detil kecil seperti suara langkah kaki di atas salju, embusan angin di padang terbuka, atau cahaya obor yang berkedip di gua, semuanya dirancang dengan sangat hati-hati.

Banyak gamer menyebut Octopath Traveler sebagai “simulasi perjalanan paling estetis” yang pernah mereka alami dalam game. Dan saya setuju. Kalau traveling adalah soal merasakan atmosfer, maka game ini sukses besar.

Apa yang Bisa Kita Pelajari—Game Sebagai Sarana Wisata Virtual

Pertanyaannya: kenapa game seperti Octopath Traveler bisa terasa seperti perjalanan sungguhan?

Mungkin karena dalam kondisi dunia sekarang, banyak dari kita yang rindu petualangan, tapi tidak bisa langsung berangkat. Maka, media digital seperti game menjadi pelarian—atau bahkan alternatif nyata.

Octopath Traveler tidak memberikan informasi wisata secara eksplisit, tapi ia menginspirasi imajinasi. Banyak pemain yang, setelah menjelajahi dunia Orsterra, tertarik menelusuri tempat-tempat nyata yang mungkin menginspirasinya.

Ada juga nilai naratif yang kuat di dalamnya—tentang penemuan diri, perjalanan melintasi dunia yang tidak selalu nyaman, dan bertemu orang-orang dengan kisah rumit. Bukankah itu juga yang kita temui saat benar-benar bepergian?

Saya pribadi jadi tergerak menulis travel list baru setelah menamatkan game ini. Alpen Swiss, kota pelabuhan kecil di Yunani, reruntuhan padang pasir Yordania… semua terasa seperti pernah saya datangi—padahal belum.

Kesimpulan: Octopath Traveler dan Seni Menyusuri Dunia dalam Fantasi

Lebih dari sekadar permainan, Octopath Traveler adalah simulasi wisata interaktif yang menyentuh sisi emosional dan estetik kita. Ia mengingatkan bahwa traveling bukan cuma soal berpindah tempat, tapi soal memperluas sudut pandang, mendengarkan cerita orang lain, dan merasakan tempat lewat indera.

Bagi kamu yang belum bisa pergi jauh, atau justru mencari cara baru untuk “jalan-jalan” dari rumah, Octopath Traveler adalah pintu menuju dunia baru. Dunia pixel, memang. Tapi penuh dengan kehidupan, nuansa, dan makna.

Jadi, siapkan konsolmu, pilih karaktermu, dan mulailah perjalanan. Karena siapa bilang jalan-jalan harus selalu pakai koper dan paspor?

Baca Juga Artikel dari: Sakura Samurai: Petualangan Samurai Seru dan Artistik

Baca Juga Konten dengan Artikel Terkait Tentang: Gaming

Author