Onimusha 2: Samurai, Iblis, dan Nostalgia Balik Game Legendaris

Onimusha 2

Jakarta, nintendotimes.com – Tahun 2002, industri game sedang memasuki masa keemasan. Nintendo baru saja menancapkan pengaruh lewat GameCube, sedangkan konsol lain seperti PlayStation 2 dan Xbox juga sedang bersaing ketat. Di tengah hingar-bingar itu, hadir sebuah judul yang diam-diam menyita perhatian gamer dari berbagai penjuru dunia: Onimusha 2: Samurai’s Destiny.

Meski bukan eksklusif Nintendo, efek game ini ikut menggetarkan komunitas gamer di platform-platform besar. Onimusha 2 adalah lanjutan dari suksesnya Onimusha: Warlords, sebuah game action-adventure beraroma horor Jepang klasik, yang memadukan unsur samurai, kekuatan supranatural, dan alur cerita yang padat.

Ceritanya fokus pada seorang pendekar bernama Jubei Yagyu, yang pulang ke kampung halaman hanya untuk menemukan desanya hancur oleh serangan makhluk jahat bernama Genma—iblis-iblis haus darah yang dikendalikan oleh Lord Nobunaga. Tokoh antagonis utama ini diangkat dari sosok nyata dalam sejarah Jepang, Oda Nobunaga, tapi dibalut dalam skenario fiksi supernatural.

Sejak cutscene pembuka yang sinematik hingga gameplay dengan campuran puzzle, pertempuran katana, dan elemen RPG ringan, Onimusha 2 sukses membangun atmosfer yang menegangkan sekaligus menggugah rasa penasaran.

Saya masih ingat betul malam itu—di sebuah warung rental PS2 kecil di Depok, saya dan teman-teman duduk gelisah menonton adegan pembantaian desa Jubei. Tidak ada yang berani menyela. Ini bukan sekadar game. Ini cerita.

Formula Gameplay Onimusha 2 yang Menginspirasi Generasi Baru

Onimusha 2

Berbeda dari game hack-and-slash lain di era itu, Onimusha 2 tidak sekadar menekankan aksi, tapi juga memberi ruang untuk berpikir dan merasakan.

Gameplay-nya dibangun dari mekanik fixed-camera ala Resident Evil (karena memang dikembangkan oleh Capcom), tapi dengan nuansa khas Jepang feodal. Pemain harus mengelola senjata, mengumpulkan orb jiwa untuk meningkatkan kekuatan, dan menyelesaikan berbagai teka-teki yang tersebar di sepanjang perjalanan.

Namun yang paling mencolok di Onimusha 2 adalah sistem pertemanan dan hadiah. Pemain bisa berinteraksi dengan karakter non-playable character (NPC) seperti Magoichi, Kotaro, dan Oyu, dengan memberi mereka hadiah untuk meningkatkan kedekatan. Jika berhasil, mereka akan membantu di momen-momen krusial dalam pertempuran atau membuka alur cerita alternatif.

Bisa dibilang, ini salah satu elemen awal dari sistem “relationship” yang kemudian menjadi pilar di banyak game RPG Jepang modern, seperti Persona atau Fire Emblem.

Dan jangan lupakan elemen khas Onimusha: menghisap jiwa musuh yang telah dikalahkan. Mekanik ini bukan cuma ikonik, tapi juga adiktif. Kamu bisa meningkatkan kekuatan, membuka jurus, bahkan mengakses senjata rahasia.

Satu hal yang bikin greget? Mode Dark Realm—arena bertingkat penuh tantangan, yang hanya bisa diselesaikan dengan skill tinggi dan stok potion yang cukup. Kalau gamer zaman sekarang bilangnya: “mental baja dan tangan dingin.”

Visual, Musik, dan Atmosfer yang Tak Terlupakan

Bicara soal Onimusha 2 tanpa menyentuh aspek visual dan audionya itu seperti makan ramen tanpa kuah. Game ini dirancang dengan pra-rendered background yang detail dan atmosferik. Kabut tipis di tengah hutan bambu, percikan api dari desa yang terbakar, dan langit malam yang kelam—semua digarap dengan teliti untuk menciptakan rasa mencekam yang elegan.

Dan jangan lupakan desain karakter. Capcom saat itu bahkan menggandeng aktor Jepang Yusaku Matsuda untuk memodelkan wajah Jubei. Itu langkah besar—karena saat banyak game masih pakai wajah generik, Onimusha sudah memanfaatkan teknologi motion capture dan photorealistic rendering.

Soundtrack-nya pun tak main-main. Musik latar dikomposisi secara orkestra, memadukan instrumen tradisional Jepang dengan simfoni barat. Hasilnya? Setiap langkah kaki di kuil tua atau suara pintu geser terasa hidup dan menggetarkan.

Ada satu momen yang selalu saya ingat: saat Jubei bertarung di atas jembatan saat hujan deras, dengan latar musik shamisen dramatis. Rasanya seperti menonton film Kurosawa versi interaktif.

Atmosfer seperti ini yang membuat Onimusha 2 bukan sekadar game, tapi pengalaman sinematik yang membekas dalam ingatan banyak pemain, bahkan dua dekade setelah perilisannya.

Posisi Onimusha di Tengah Dunia Nintendo dan Konsol Jepang

Walau secara teknis bukan game eksklusif Nintendo, Onimusha 2 punya pengaruh besar di komunitas gamer Nintendo pada masa itu.

Di awal 2000-an, gamer yang memiliki GameCube kerap membandingkan judul-judul third party seperti Resident Evil, Viewtiful Joe, dan tentu saja Onimusha, dengan koleksi mereka. Banyak yang berharap Onimusha hadir di platform Nintendo. Bahkan ada wacana porting ke GameCube, tapi tidak pernah terealisasi penuh.

Namun itu tidak menghentikan pengaruhnya. Banyak gamer yang akhirnya punya dua konsol—GameCube untuk Nintendo-first titles, dan PS2 untuk Onimusha dan kawan-kawannya.

Ada juga fenomena menarik di kalangan gamer muda saat itu: komunitas fan-made port dan emulator. Tak sedikit yang memainkan ulang Onimusha di PC melalui emulator, atau mengimpikan versi Nintendo Switch di masa depan.

Beberapa waktu lalu, Capcom sempat merilis remaster Onimusha: Warlords untuk Switch, PlayStation 4, dan Xbox One. Itu menyulut harapan bahwa Onimusha 2 dan 3 bisa menyusul.

Dan bagi banyak pemain—terutama mereka yang besar di era Nintendo DS dan GameCube—Onimusha punya tempat spesial sebagai game yang mewakili era kejayaan Jepang di industri game global.

Warisan dan Masa Depan Onimusha 2 di Mata Generasi Modern

Pertanyaannya sekarang: di mana posisi Onimusha 2 dalam lanskap game saat ini? Apakah ia masih relevan?

Jawabannya: sangat mungkin, tergantung cara pendekatannya.

Gamer masa kini lebih beragam. Mereka menyukai cerita kuat, visual sinematik, dan kontrol modern. Itulah mengapa banyak seri klasik seperti Final Fantasy VII atau Resident Evil 2 dibuat ulang total.

Bayangkan jika Onimusha 2 mendapatkan remake penuh dengan visual Unreal Engine 5, sistem pertarungan yang mirip Ghost of Tsushima, dan narasi mendalam yang menantang emosi.

Beberapa penggemar veteran sudah membuat petisi online untuk Capcom agar membuat versi reboot. Bahkan ada rumor kecil (belum dikonfirmasi resmi) soal proyek animasi Onimusha yang tengah digarap untuk layanan streaming.

Yang jelas, kekuatan Onimusha 2 ada di cerita dan atmosfernya—dua hal yang tak pernah basi. Saat gamer Gen Z mulai menggali game retro dan mengapresiasi desain yang ‘jadul tapi berkelas’, nama Onimusha kembali naik ke permukaan.

Dan jujur saja, siapa sih yang tidak kangen dengan sensasi mengayunkan katana, menyerap jiwa iblis, dan menyusuri lorong kuil tua sambil ditemani musik shamisen?

Mungkin, hanya tinggal tunggu waktu sebelum dunia kembali dipertemukan dengan Jubei Yagyu dalam wujud modern.

Penutup:

Onimusha 2 bukan cuma sekuel, bukan sekadar game lawas yang dilupakan waktu. Ia adalah penggalan sejarah, fragmen masa keemasan game Jepang yang memadukan seni bertarung, mitologi, dan narasi gelap yang kuat.

Di tengah derasnya game modern yang penuh microtransaction dan update mingguan, Onimusha 2 berdiri sebagai pengingat bahwa kadang, yang kita butuhkan hanyalah kisah sederhana tentang pahlawan, iblis, dan pilihan untuk bertarung demi kebenaran.

Baca Juga Konten Dengan Artikel Terkait Tentang: Gaming

Baca Juga Artikel Dari: Mengenal Eternium RPG: Petualangan Seru di Dunia Fantasi

Kunjungi Website Resmi: bosjoko

Author