Bayonetta 3: Aksi Stylish Sang Penyihir dalam Balutan Multiverse

Bayonetta 3

Jakarta, nintendotimes.com – Kalau kamu termasuk gamer yang tumbuh di era konsol Nintendo dan punya ketertarikan sama karakter badass dengan kekuatan supernatural dan gaya modis yang tidak masuk akal, kemungkinan besar nama Bayonetta sudah melekat di kepala sejak lama. Dan setelah penantian panjang, Bayonetta 3 akhirnya hadir di Nintendo Switch, memecah heningnya dunia action hack-and-slash dengan ledakan visual, narasi absurd, dan level aksi yang makin nggak masuk akal.

Game yang dikembangkan oleh PlatinumGames dan dipublikasikan eksklusif oleh Nintendo ini adalah entri ketiga dari franchise yang sempat dicurigai tidak akan berlanjut. Tapi siapa sangka, justru di seri ketiga inilah Bayonetta—atau Cereza, nama aslinya—mendapatkan skala cerita dan eksplorasi karakter yang jauh lebih luas daripada sebelumnya.

Gue masih ingat malam pertama memainkan game ini. Layar gelap, lalu musik orkestra yang mulai naik intensitasnya, disusul dengan cutscene pembuka yang membuat kita langsung dilempar ke dalam konflik multiverse. Yup, Bayonetta 3 main di ranah multiverse—sebuah langkah berani, mengingat seri sebelumnya lebih banyak berfokus pada konflik antara dunia manusia, malaikat, dan iblis.

Tapi tenang, meski ceritanya rumit, karisma Bayonetta tetap jadi jangkar. Dari gaya jalan, gestur tangan, sampai kalimat sarkastiknya—semua masih memikat, bahkan bisa dibilang lebih matang dan megah.

Plot Bayonetta 3—Dunia Bertabrakan, Penyihir Berganti

Bayonetta 3

“Apakah kamu percaya pada dunia paralel?” Itu mungkin kalimat pembuka yang paling cocok untuk membahas narasi Bayonetta 3. Di game ini, PlatinumGames memutuskan untuk melepas rem narasi dan memberikan ruang bagi konsep multiverse yang cukup kompleks.

Kisahnya dimulai ketika dunia mulai runtuh satu per satu akibat ancaman entitas baru bernama Singularity, yang mengancam akan menghapus semua realitas demi menciptakan satu dunia tunggal. Tentu saja, Bayonetta tidak tinggal diam. Tapi kali ini, dia tidak hanya ditemani oleh Jeanne—sahabat lamanya—tapi juga karakter baru bernama Viola, penyihir muda dari dunia lain yang karakternya seperti mix antara punk rock dan anime shonen.

Yang bikin mindblowing, Bayonetta 3 membawa beberapa versi Bayonetta dari berbagai semesta. Setiap Bayonetta punya gaya rambut, senjata, dan latar belakang unik. Ada yang tampil lebih gothic, ada yang seperti bintang pop, bahkan ada yang tampil bak dewi dengan armor etnik. Ini bukan cuma kosmetik, tapi juga memperkaya narasi dengan tema pengorbanan, identitas, dan dualitas karakter.

Plot-nya memang tidak selalu mudah diikuti. Tapi sensasi eksplorasi dunianya bikin nagih. Bayonetta 3 seolah mengajak kita bermain teka-teki sambil menghancurkan musuh dalam balutan dance, peluru, dan sihir raksasa.

Gameplay Bayonetta 3—Lebih Gila, Lebih Luas, Tapi Tetap Intuitif

Bayonetta selalu dikenal karena gameplay-nya yang super cepat, responsif, dan penuh gaya. Dan di Bayonetta 3, semua itu dibawa ke level baru yang… jujur aja, kadang bikin ngos-ngosan.

Sistem combo masih jadi jantung permainan, dengan elemen waktu yang presisi seperti Witch Time, yaitu fitur di mana Bayonetta memperlambat waktu jika berhasil menghindari serangan musuh di detik terakhir. Tapi yang paling menarik adalah fitur baru: Demon Slave System.

Dengan sistem ini, kamu bisa memanggil iblis raksasa (seperti Gomorrah, Madama Butterfly, dan kawan-kawan) ke tengah pertarungan. Serius, ini mirip banget kayak gabungan antara Bayonetta dan Kaiju Battle. Bayangkan kamu lagi berantem, lalu memanggil iblis setinggi gedung pencakar langit untuk menghabisi musuh dalam satu jurus tarian.

Namun, sistem ini punya risiko. Saat kamu mengontrol iblis, Bayonetta akan diam di tempat, membuatnya rentan diserang. Jadi kamu harus pintar memilih momen yang tepat.

Selain itu, Viola sebagai karakter playable membawa dinamika gameplay yang berbeda. Dia tidak menggunakan Witch Time, melainkan counter berbasis timing, yang mengingatkan kita pada sistem parry ala Sekiro. Senjatanya pun bukan pistol, tapi pedang besar dan kucing demon bernama Cheshire yang bisa bertarung sendiri.

Area eksplorasi juga dibuat lebih luas. Beberapa level terasa semi-open world, memberi kita ruang untuk menjelajah, mencari collectible, dan menyelesaikan challenge tambahan seperti musuh waktu terbatas atau puzzle kecil.

Visual, Suara, dan Presentasi—Identitas Bayonetta yang Tak Pernah Surut

Salah satu hal yang bikin franchise Bayonetta tetap ikonik adalah gaya visual yang tidak malu-malu. Bukan hanya soal kostum super modis atau animasi jurus yang penuh flare, tapi juga estetika dunia yang selalu campur aduk antara mistik, teknologi, dan seni klasik.

Di Bayonetta 3, semua elemen itu tetap hadir—bahkan makin liar. Dunia yang kita datangi tidak hanya indah tapi juga ganjil. Dari reruntuhan kota futuristik, kuil misterius, hingga panggung opera di tengah kehancuran, semuanya dirancang penuh detil. Beberapa cutscene bahkan terasa seperti film animasi jepang dengan bujet blockbuster.

Namun, kita harus jujur juga: secara teknis, Bayonetta 3 memang terbatas oleh kekuatan hardware Nintendo Switch. Framerate kadang turun di momen-momen aksi super padat. Tapi anehnya, ini tidak terlalu mengganggu pengalaman bermain. Karena game ini lebih menonjolkan gaya daripada tekstur ultra-realistis.

Dari sisi suara, dubbing dari Jennifer Hale sebagai pengganti Hellena Taylor (Bayonetta sebelumnya) sempat menuai kontroversi. Tapi setelah bermain sendiri, saya bisa bilang: Hale berhasil memberi warna baru, lebih dewasa dan kalem, tanpa menghilangkan sikap sarkastik dan sensual dari karakter Bayonetta.

Musiknya? Masih seperti biasanya: campuran jazz, orkestra, pop eksentrik, dan sentuhan techno. Soundtrack “We Are As One” bahkan jadi highlight emosional di tengah klimaks cerita. Rasanya seperti menutup konser teatrikal penuh darah dan peluru dengan standing ovation.

Bayonetta 3 dalam Konteks Industri dan Fanbase—Game yang Menantang dan Menyentuh

Bayonetta 3 bukan sekadar sekuel. Ia adalah deklarasi bahwa game hack-and-slash masih bisa relevan, bahkan di tengah tren game open world dan survival horror yang sedang naik daun.

Bagi fan lama, Bayonetta 3 adalah hadiah manis yang menuntaskan penantian panjang. Tapi juga jadi tamparan kecil—karena akhir cerita yang cukup mengejutkan dan membuat komunitas terbagi dua. Ada yang menganggap PlatinumGames terlalu “bermain aman”, ada yang mengapresiasi keberanian arah narasi barunya.

Namun yang tak bisa dibantah adalah keberhasilan Bayonetta 3 dalam menyeimbangkan gameplay hardcore dengan visual stylish, narasi eksperimental dengan kontrol intuitif, serta fanservice dengan substansi.

Di sisi lain, Bayonetta 3 memperlihatkan bahwa Nintendo berani mempertahankan game dengan rating dewasa di platform-nya. Ini membuktikan bahwa Switch bukan cuma untuk Mario, Zelda, atau Animal Crossing—tapi juga untuk gamer dewasa yang butuh aksi memacu adrenalin.

Penutup: Bayonetta 3 Adalah Tarian Kematian yang Penuh Gairah dan Imajinasi

Bayonetta 3 bukan game sempurna. Ia kadang terlalu kompleks, terlalu over-the-top, atau bahkan terlalu sentimental di beberapa bagian. Tapi di situlah justru letak kekuatannya.

Ini bukan game yang bisa dinikmati semua orang. Tapi bagi mereka yang menghargai kombinasi antara seni, chaos, dan kontrol presisi, Bayonetta 3 adalah mahakarya.

Ia bukan hanya aksi. Ia adalah opera. Bukan hanya peluru, tapi juga puisi. Dan di tengah semua kekacauan multiverse, Bayonetta 3 berhasil menyatukan semuanya dalam satu tarian kematian yang… entah kenapa, terasa indah.

Baca Juga Konten dengan Artikel Terkait Tentang: Gaming

Baca Juga Artikel dari: Cursed Castilla: Petualangan Retro yang Menegangkan

Author