Super Smash Bros: Arena Gila Nintendo Mengubah Pertarungan

Jakarta, nintendotimes.com – Mungkin kamu pernah duduk di ruang tamu, memegang controller, lalu berteriak kegirangan karena berhasil melemparkan Pikachu ke jurang pakai Donkey Kong. Atau mungkin kamu menang comeback pakai Kirby di detik terakhir. Atau… kamu mungkin jadi satu dari banyak pemain yang merasa, “Kenapa sih aku terus kena pukul sama Link?”
Kalau kamu pernah mengalami momen-momen itu, besar kemungkinan kamu sudah tersentuh oleh keajaiban game bernama Super Smash Bros.
Game ini bukan game fighting konvensional. Bukan soal combo 18 tombol seperti di Street Fighter atau sistem hitbox-rumit seperti Tekken. Smash Bros lebih seperti perayaan besar dari semua karakter ikonik Nintendo yang dilempar ke satu arena—tanpa banyak logika, tapi penuh kesenangan.
Bayangkan ini: Mario berantem sama Sonic, Snake dari Metal Gear ngeluarin roket di tengah stage Pokémon, atau Jigglypuff nyanyi sampai semua musuh ketiduran. Logika? Nggak ada. Tapi seru? Gila banget.
Dan itulah kekuatan utama Super Smash Bros. Ia adalah game yang berhasil menggabungkan kekacauan, kompetisi, dan nostalgia dalam satu paket yang seolah bilang: “Lo nggak harus jago buat bersenang-senang.”
Sejarah Super Smash Bros—Dari Eksperimen Sederhana ke Fenomena Global
Kisah Super Smash Bros dimulai pada tahun 1999, di era Nintendo 64. Saat itu, seorang desainer legendaris bernama Masahiro Sakurai (yang juga otak di balik Kirby) membuat game fighting yang… tidak biasa. Alih-alih mengurangi HP musuh, kamu harus “melontarkan” mereka keluar arena.
Judul pertamanya, Super Smash Bros, punya 12 karakter: Mario, Link, Samus, Donkey Kong, Pikachu, dan lainnya. Sederhana. Tapi respons gamer luar biasa. Dalam waktu singkat, game ini laris dan Nintendo tahu: mereka punya tambang emas.
Lalu muncul Super Smash Bros Melee (2001, GameCube)—lebih cepat, lebih kompleks. Game ini jadi kultus di kalangan pro player, bahkan sampai hari ini masih dipertandingkan di turnamen seperti EVO. Banyak yang bilang Melee adalah “versi paling teknikal dan brutal” dari semua Smash yang pernah dibuat.
Berlanjut ke Brawl (2008, Wii) yang memperkenalkan fitur story mode bernama Subspace Emissary. Meski lebih lambat, Brawl punya roster paling gila waktu itu—termasuk karakter third-party seperti Snake dan Sonic.
Kemudian datang Smash 4 (2014, Wii U & 3DS) dan akhirnya Super Smash Bros Ultimate (2018, Nintendo Switch). Yang terakhir ini adalah monster: 89 karakter, 100+ stage, dan disebut-sebut sebagai “crossover game terbesar sepanjang masa.” Bahkan Sephiroth dari Final Fantasy dan Kazuya dari Tekken pun masuk.
Dan satu hal yang pasti: setiap generasi gamer punya versi Smash favoritnya. Bagi saya? Melee adalah yang pertama, tapi Ultimate yang bikin saya terus main hingga sekarang.
Sistem Gameplay—Kacau, Bebas, tapi Penuh Strategi
Buat yang belum pernah main (atau cuma nonton di YouTube), Super Smash Bros mungkin terlihat seperti kekacauan visual yang bikin pusing. Tapi sebenarnya, sistemnya cukup sederhana:
-
Setiap karakter punya bar “damage” dalam bentuk persen (%).
-
Semakin tinggi persentase damage, semakin mudah karakter itu terpental keluar arena.
-
Tidak ada HP 0. Tidak ada “finishing move”. Tapi ada “edge-guard”, “air dodge”, dan “meteor smash” yang bisa jadi kunci kemenangan.
Gameplay-nya bisa dimainkan hingga 8 orang dalam satu pertandingan. Pilihannya bisa serius—1 vs 1 dengan ruleset turnamen. Atau chaotic—4 pemain, item on, stage bergerak, dengan ledakan bom setiap detik.
Dan justru di situlah letak magisnya. Super Smash Bros adalah game yang bisa sangat kompetitif dan juga sangat santai, tergantung cara kamu memainkannya.
Pernah suatu waktu saya main Smash di sebuah kafe game di Bandung. Dua orang main dengan gaya turnamen, pakai karakter Fox dan Marth. Di belakang mereka? Tiga anak SMA yang main dengan mode semua item on, ketawa-tawa, dan salah satunya menang pakai Pichu—karakter yang bahkan menyakiti dirinya sendiri setiap menyerang.
Smash bukan soal menang terus. Ia soal momen-momen: refleks gila, comeback tak terduga, atau terjatuh karena terpeleset… literally.
Karakter dan Crossover Gila—Roster Impian yang Tak Masuk Akal Tapi Terjadi
Salah satu daya tarik terbesar Super Smash Bros adalah daftar karakternya. Di game ini, batas antara IP, genre, dan bahkan perusahaan game bisa runtuh begitu saja.
Awalnya, roster didominasi oleh karakter internal Nintendo: Mario, Donkey Kong, Zelda, Yoshi. Tapi lama-kelamaan, game ini jadi panggung crossover paling ambisius di dunia game.
Coba simak beberapa contoh karakter yang bisa kamu mainkan di Super Smash Bros Ultimate:
-
Solid Snake (Metal Gear Solid, dari Konami)
-
Sonic (Sega)
-
Cloud dan Sephiroth (Final Fantasy VII, Square Enix)
-
Steve dari Minecraft (Mojang/Microsoft)
-
Kazuya dari Tekken (Bandai Namco)
-
Joker dari Persona 5
-
Sora dari Kingdom Hearts
Faktanya, ketika pengumuman Sora masuk ke Smash diumumkan, fandom internet seperti terbakar. Hashtag #ThankYouSakurai sempat trending global. Karena siapa sangka—karakter dari Disney/Square Enix yang hak ciptanya ruwet bisa hadir di Smash?
Bagi banyak orang, roster ini bukan sekadar daftar. Ini semacam museum budaya pop interaktif. Kamu bisa membuat pertandingan antara Mega Man dan Ryu, atau Pac-Man melawan Bayonetta. Dan itu sah. Itu resmi. Dan itu luar biasa.
Budaya Komunitas & Kompetitif—Dari Turnamen ke Meme Internet
Super Smash Bros tidak akan jadi fenomena global kalau bukan karena komunitasnya. Baik pemain kasual maupun pemain kompetitif, semua punya tempat di dunia Smash.
1. Turnamen Kompetitif
Melee memiliki skena e-sports yang solid. Bahkan di Indonesia, komunitas Smash Indo mengadakan turnamen online dan offline. Beberapa pemain seperti Armada, Mango, dan Zain bahkan dikenal sebagai legenda.
Ultimate juga punya scene turnamen aktif. Evo, Genesis, hingga SmashCon adalah ajang prestisius yang mempertemukan ribuan pemain dari seluruh dunia.
2. Komunitas Online
Reddit r/SmashBros, Discord komunitas lokal, hingga YouTube content creator seperti Alpharad, Little Z, atau Hungrybox membentuk ekosistem konten yang ramai dan hidup.
Di Twitter dan TikTok, meme tentang “Luigi misfire”, “Ganondorf yang terlalu berat”, atau “Bayonetta broken banget” bertebaran. Bahkan sampai ada speedrun untuk siapa yang bisa mati tercepat pakai Hero dari Dragon Quest.
Dan jangan lupakan budaya salty runback—istilah untuk pertandingan ulang ketika pemain merasa kekalahan sebelumnya “nggak valid”. Siapa yang belum pernah ngalamin ini, kayaknya belum main Smash dengan serius.
Yang bikin saya pribadi jatuh cinta pada komunitas ini bukan cuma karena skill. Tapi karena mereka merayakan kekacauan. Mereka tahu game ini absurd, dan justru itu yang membuatnya seru.
Penutup: Super Smash Bros adalah Surat Cinta untuk Gamer dari Segala Usia
Di tengah dunia gaming yang makin kompleks, dengan game realistis, RPG 100 jam, dan microtransaction yang kadang bikin frustrasi—Super Smash Bros tetap hadir sebagai oasis.
Ia tidak sempurna. Kadang imbalance. Kadang online-nya lag. Tapi di balik semua itu, Smash menawarkan sesuatu yang langka: kesenangan murni. Nostalgia. Tertawa bersama teman. Momen heroik. Kekalahan lucu. Dan tentunya, peluang untuk mengadu siapa yang paling jago di tongkrongan—tanpa harus jago combo Street Fighter.
Untuk saya pribadi, Super Smash Bros adalah game yang tidak pernah tua. Mau dimainkan oleh anak SD atau orang dewasa usia 30+, efeknya sama: semua jadi bagian dari pesta. Semua ikut tertawa.
Dan mungkin, di dunia yang makin rumit, game seperti ini justru yang kita butuhkan. Satu arena. Banyak karakter. Banyak kekacauan. Tapi semua bisa ikut main.
Baca Juga Artikel dari: Menjelajahi Dunia Fantasi dalam The Legend of Neverland
Baca Juga Konten dengan Artikel Terkait Tentang: Gaming