Triangle Strategy: Ketika Intrik Politik dan Strategi Taktikal Bertemu

Triangle Strategy

Jakarta, nintendotimes.com – Awalnya, banyak yang skeptis. “Ah, ini paling cuma game strategi bergaya klasik lagi,” kata Raka, seorang gamer veteran yang tumbuh dengan Final Fantasy Tactics dan Fire Emblem. Tapi begitu ia memainkan Triangle Strategy, persepsinya berubah total.

Dirilis eksklusif untuk Nintendo Switch pada Maret 2022, Triangle Strategy membawa kembali kejayaan RPG taktik 2.5D ala Square Enix. Namun bukan cuma nostalgia yang ditawarkan. Game ini tampil berani dengan cerita kompleks, sistem pilihan moral, dan gameplay penuh pertimbangan. Bukan game yang bisa diselesaikan sambil nyambi scrolling TikTok, karena setiap langkah—baik secara taktis maupun naratif—punya konsekuensi.

Nama “Triangle” sendiri bukan sekadar bentuk geometri. Ia merujuk pada tiga nilai utama yang menjadi poros cerita: Morality, Utility, dan Liberty. Tiga nilai ini akan memengaruhi bagaimana tokoh utama, Serenoa Wolffort, menjalani ceritanya. Dan kamu sebagai pemain, memegang kendali atas keputusannya.

Cerita dan Dunia—Epik, Dewasa, dan Penuh Intrik

Triangle Strategy

Bayangkan gabungan antara Game of Thrones, Fire Emblem, dan Octopath Traveler. Hasilnya? Triangle Strategy.

Game ini berlatar di benua fiksi bernama Norzelia, di mana tiga negara utama—Glenbrook, Aesfrost, dan Hyzante—pernah terlibat dalam “Saltiron War” karena perebutan sumber daya: garam dan besi. Sepintas terdengar sederhana, tapi jangan tertipu. Cerita Triangle Strategy penuh dengan konspirasi, pengkhianatan, aliansi rapuh, hingga pilihan moral yang tidak pernah hitam-putih.

Salah satu momen yang paling membekas bagi banyak pemain adalah saat Serenoa harus memutuskan apakah ia akan menyerahkan teman karibnya demi menjaga perdamaian, atau melawan kerajaan dengan risiko perang besar. Tidak ada pilihan yang benar-benar “benar”. Setiap keputusan punya harga—baik secara politik, emosional, maupun taktis.

Yang bikin cerita ini kuat bukan hanya plotnya, tapi cara penyajiannya. Dialog disampaikan dengan voice acting yang cukup solid, dan cutscene yang, meski berbasis pixel art, mampu menyampaikan ketegangan dan drama secara efektif. Ini bukan RPG yang bisa kamu skip dialog-nya. Serius.

Sistem Gameplay—Pecinta Strategi Akan Ketagihan

Triangle Strategy menawarkan sistem pertarungan grid-based ala klasik, di mana posisi, ketinggian, dan arah serangan memengaruhi hasil. Tapi game ini tidak berhenti sampai di sana.

1. Turn Order yang Dinamis

Berbeda dari sistem giliran konvensional, Triangle Strategy memakai sistem berdasarkan kecepatan unit. Artinya, kamu harus memperhitungkan siapa yang akan menyerang selanjutnya—baik kawan maupun lawan.

2. Attack Bonus & Positioning

Menyerang musuh dari belakang akan memberikan damage lebih besar. Serangan dari dua sisi? Kombinasi damage dan efek visual yang memuaskan. Sistem ini menuntut pemain berpikir dua atau tiga langkah ke depan, bukan sekadar maju dan serang.

3. Voting System: The Scales of Conviction

Ini yang membuat Triangle Strategy unik. Dalam titik-titik kritis cerita, Serenoa akan berdiskusi dengan tujuh rekan terdekatnya, dan keputusan diambil berdasarkan sistem voting. Kamu bisa membujuk mereka dengan argumen, berdasarkan informasi yang kamu kumpulkan sebelumnya.

Sistem ini bikin kamu merasa bukan cuma jadi komandan perang, tapi juga diplomat, politisi, bahkan kadang manipulator halus.

4. Upgrade & Rekrutmen Karakter

Setiap karakter punya kelas dan senjata unik, dan kamu bisa meningkatkan kemampuan mereka di “Encampment”. Selain itu, ada puluhan karakter yang bisa direkrut, tergantung nilai-nilai moral yang kamu tekuni. Ini menambah variasi permainan dan replayability.

Visual dan Audio—Klasik Tapi Bikin Meleleh

Triangle Strategy menggunakan gaya grafis “HD-2D” yang pertama kali dipopulerkan oleh Octopath Traveler. Kombinasi antara pixel art dan efek cahaya 3D ini menghasilkan visual yang—walau sederhana—sangat menawan.

Setiap medan perang punya detail tersendiri, dari kastil yang megah, desa bersalju, hingga tambang penuh jebakan. Efek cuaca, seperti hujan atau api, bukan cuma kosmetik—kadang berdampak langsung pada strategi tempur.

Musiknya? Epik. Serius. Komposernya, Akira Senju, menyajikan aransemen yang pas untuk setiap situasi—baik saat diskusi diplomatik hingga pertempuran penuh tensi. Soundtrack ini layak didengarkan terpisah.

Untuk Siapa Triangle Strategy Diperuntukkan?

Kalau kamu suka game dengan cerita kuat, pilihan moral penuh dilema, dan pertarungan taktik yang menguji otak, maka Triangle Strategy adalah pilihan ideal.

Namun, game ini juga tidak cocok untuk semua orang. Buat mereka yang ingin hiburan ringan dan cepat, mungkin akan merasa game ini “terlalu berat”. Banyak dialog, banyak pilihan, dan pertarungan yang bisa makan waktu hingga 30 menit per skenario. Tapi justru di situlah letak kepuasannya.

Bahkan, game ini mengundang banyak diskusi di komunitas gaming. Apakah lebih baik membela kebenaran atau menyelamatkan nyawa terbanyak? Apakah kekuasaan harus dipertahankan, atau direformasi? Pertanyaan-pertanyaan ini sering muncul di forum diskusi karena Triangle Strategy memang menyentil tema-tema berat dengan cara elegan.

Penutup: Triangle Strategy, Sebuah RPG Taktik yang Layak Masuk Kategori Mahakarya

Triangle Strategy bukan game sempurna—ada beberapa momen pacing cerita yang lambat, dan battle bisa terasa repetitif bila tidak diselingi variasi. Tapi, game ini memberikan sesuatu yang jarang ditemui di era game mobile serba instan: kesabaran yang berbuah kepuasan.

Ia mengajakmu berpikir, merasa, dan memutuskan. Sebuah game yang menghargai kecerdasan pemainnya, dan menantang kamu untuk lebih dari sekadar menekan tombol serang.

Triangle Strategy layak masuk daftar game terbaik di Nintendo Switch untuk kategori strategi naratif. Dan kalau kamu menyukai kisah epik, plot bercabang, dan dunia fiksi politik yang rumit tapi memikat—well, mungkin ini game yang kamu cari.

Baca Juga Artikel dari: Pullbox: Game Puzzle Seru Penuh Tantangan dan Strategi

Baca Juga Konten dengan Artikel Terkait Tentang: Gaming

Author