Sekiro: Shadows Die Twice Perjalanan Shinobi di Dunia Jepang

Sekiro Shadows Die Twice

Jakarta, nintendotimes.com – Bagi banyak gamer, nama FromSoftware selalu identik dengan tantangan. Setelah sukses dengan Dark Souls dan Bloodborne, studio ini merilis Sekiro Shadows Die Twice pada 2019. Game ini langsung menjadi fenomena, memenangkan penghargaan Game of the Year di The Game Awards.

Namun, yang membuat Sekiro berbeda adalah keberaniannya memaksa pemain keluar dari zona nyaman. Jika di Dark Souls kita masih bisa mengandalkan build karakter dan grinding, Sekiro benar-benar menelanjangi kita, hanya memberi satu pedang katana, refleks, dan sedikit alat shinobi untuk bertahan hidup.

Ceritanya berlatar di Jepang akhir abad ke-16, era Sengoku yang penuh peperangan, pengkhianatan, dan intrik politik. Kita berperan sebagai Wolf, seorang shinobi yang kehilangan tuannya, seorang bocah pewaris darah naga. Dari situ, perjalanan penuh darah dimulai: menyelamatkan tuannya sekaligus mencari arti kesetiaan.

Saya masih ingat saat pertama kali memainkan game ini. Dalam 15 menit, saya sudah mati lebih dari tiga kali. Ada perasaan frustrasi sekaligus penasaran. Rasanya seperti sedang diuji bukan hanya sebagai gamer, tapi juga sebagai manusia: apakah saya cukup sabar untuk bertahan?

Mekanisme Unik: Pertarungan yang Tak Sekadar Menebas

Sekiro Shadows Die Twice

Sekiro Shadows Die Twice mengubah cara kita memandang game aksi. Tidak ada bar stamina tradisional seperti di Dark Souls. Sebagai gantinya, ada sistem Posture.

Sistem Posture

Musuh punya bar Posture yang bisa kita tekan dengan serangan cepat atau menangkis tepat waktu. Begitu Posture penuh, kita bisa melakukan Deathblow yang langsung mengakhiri duel. Mekanisme ini membuat pertarungan lebih seperti duel pedang sungguhan: siapa yang bisa membaca tempo lawan dengan tepat, dialah yang menang.

Deflect, Bukan Dodge

Banyak pemain awalnya mencoba menghindar layaknya di Souls. Sayangnya, Sekiro Shadows Die Twice tidak memberi ruang untuk itu. Game ini memaksa kita belajar deflect—menangkis serangan lawan di timing sempurna. Suara cling! katana beradu menjadi musik yang menentukan hidup-mati.

Alat Shinobi

Selain katana, Wolf punya prostetik tangan yang bisa dipasangi berbagai alat:

  • Grappling Hook untuk mobilitas vertikal.

  • Shuriken untuk gangguan jarak jauh.

  • Flame Vent untuk melemahkan musuh berperisai.

  • Loaded Axe untuk menghancurkan guard lawan.

Setiap alat terasa vital, bukan sekadar gimmick. Saya pernah terjebak melawan musuh berlapis armor, frustrasi karena serangan biasa tak mempan. Ternyata kunci kemenangannya ada pada Loaded Axe. Dari situ saya belajar: Sekiro bukan hanya soal refleks, tapi juga kecerdikan.

Dunia Jepang Feodal yang Kelam dan Indah

Visual Sekiro benar-benar menawan. Meskipun tidak mengandalkan grafis hiper-realistis, gaya artistiknya memadukan estetika Jepang klasik dengan nuansa fantasi gelap.

Ashina Castle

Benteng megah dengan arsitektur Jepang kuno yang menjulang. Pertarungan di atap kastil melawan Genichiro Ashina adalah salah satu momen paling ikonik, seakan duel samurai di film klasik Kurosawa.

Sunken Valley

Daerah bersalju penuh sniper yang bisa membuat frustrasi. Namun, pemandangannya begitu indah hingga kita lupa sejenak rasa kesalnya.

Fountainhead Palace

Lokasi penuh kemegahan dengan nuansa mitologis. Tempat ini seperti dunia lain yang menyajikan keindahan sekaligus kengerian.

FromSoftware berhasil membuat dunia yang tidak hanya memanjakan mata, tapi juga punya cerita tersirat. Setiap patung Buddha, setiap bangkai pohon, hingga setiap suara burung gagak memberi lapisan narasi tambahan. Tidak ada cutscene panjang, tapi dunia itu sendiri yang bercerita.

Bos-Bos Brutal: Dari Frustrasi ke Kepuasan

Tidak ada yang bisa membicarakan Sekiro Shadows Die Twice tanpa menyebut bos-bosnya yang legendaris. Inilah inti dari pengalaman game ini: melawan musuh yang awalnya terasa mustahil, lalu merayakan kemenangan setelah puluhan kali gagal.

Genichiro Ashina

Musuh yang menjadi ujian sejati. Pertarungan tiga fase di atap kastil ini adalah tutorial paling brutal. Banyak pemain hampir menyerah di sini, tapi begitu berhasil, sensasinya tak terlupakan.

Lady Butterfly

Pertarungan di dalam kuil yang dipenuhi ilusi. Gaya bertarungnya anggun namun mematikan, seperti menari di atas kematian.

Guardian Ape

Bos paling “gila” di Sekiro. Seekor kera raksasa yang agresif, lalu tiba-tiba… kembali hidup setelah dipenggal, membawa kepala di tangannya. Adegan ini jadi salah satu plot twist paling mengagetkan dalam sejarah game.

Isshin, the Sword Saint

Pertarungan final yang benar-benar epik. Isshin punya empat fase, masing-masing dengan gaya bertarung berbeda. Menang melawannya adalah puncak pencapaian yang membuat semua frustrasi sebelumnya terbayar.

Setiap bos bukan hanya rintangan, tapi juga guru. Mereka mengajari timing, kesabaran, bahkan kegigihan. Saya masih ingat bagaimana tangan saya berkeringat melawan Genichiro. Setelah entah berapa kali gagal, akhirnya saya berhasil menebasnya. Rasanya seperti lulus ujian hidup.

Cerita dan Filosofi di Balik Sekiro Shadows Die Twice

Sekiro bukan hanya soal pertarungan, tapi juga soal filosofi hidup.

Ceritanya sederhana: seorang shinobi yang setia melindungi tuannya. Tapi di balik itu, ada tema besar tentang kesetiaan, penderitaan, dan siklus hidup-mati.

“Shadows die twice” bukan hanya tagline, tapi juga refleksi bahwa kematian bukan akhir. Dalam gameplay, kita bisa hidup kembali sekali setelah mati, memberi kesempatan kedua. Dalam narasi, ini mencerminkan bagaimana karakter terus berjuang meski berulang kali hancur.

Ada pilihan akhir yang berbeda, tergantung keputusan pemain:

  • Apakah Wolf tetap setia pada tuannya?

  • Apakah ia memilih jalan darah naga?

  • Atau ia justru berkhianat demi kekuasaan?

Pilihan itu membuat cerita Sekiro terasa personal. Tidak ada jawaban yang benar-benar hitam atau putih, sama seperti kehidupan nyata.

Dampak Sekiro di Dunia Gaming dan Indonesia

Sekiro memberi dampak besar di dunia gaming global. Banyak media menobatkannya sebagai bukti bahwa game single-player masih bisa relevan di era battle royale dan online multiplayer.

Di Indonesia, Sekiro juga punya tempat spesial. Banyak gamer lokal menjadikannya tantangan pribadi. Forum-forum gaming dipenuhi curhat tentang bos yang sulit, strategi deflect, hingga tips build prostetik. Ada bahkan yang membuat komunitas kecil, saling menyemangati untuk tidak menyerah.

Beberapa YouTuber gaming Indonesia ikut melambungkan popularitas Sekiro lewat konten rage compilation dan boss fight reaction. Lucunya, penonton justru senang melihat ekspresi frustrasi pemain, karena itu mencerminkan pengalaman mereka sendiri.

Mengapa Sekiro Begitu Spesial?

Sekiro Shadows Die Twice spesial karena ia tidak memberi jalan pintas. Tidak ada opsi mudah. Tidak ada grinding berlebihan. Hanya keterampilan, refleks, dan mental baja.

Game ini menuntut kita belajar dari kesalahan. Setiap kali mati, ada pelajaran baru. Setiap kali gagal, ada kesempatan untuk memperbaiki diri. Filosofinya sederhana tapi kuat: kemenangan terasa berharga karena prosesnya penuh perjuangan.

Bagi sebagian gamer, Sekiro adalah game paling sulit yang pernah mereka mainkan. Tapi bagi yang berhasil menamatkannya, Sekiro adalah pengalaman paling memuaskan—sebuah cerita tentang kegigihan dan pencapaian pribadi.

Penutup

Sekiro: Shadows Die Twice bukan sekadar game. Ia adalah perjalanan spiritual di dunia Jepang feodal, penuh darah, keringat, dan air mata. Dari duel pedang yang menegangkan, bos-bos legendaris, hingga filosofi hidup yang dalam, game ini berhasil mengukir namanya sebagai salah satu mahakarya gaming modern.

Sekiro Shadows Die Twice mengajarkan bahwa dalam hidup, kita akan jatuh berkali-kali. Tapi seperti tagline-nya, Shadows die twice, selalu ada kesempatan kedua untuk bangkit. Dan ketika akhirnya kita berhasil, rasa puasnya akan bertahan lama, bahkan setelah layar game ditutup.

Baca Juga Konten Dengan Artikel Terkait Tentang: Gaming

Baca Juga Artikel Dari: God of War Ragnarok: Epik Mitologi Nordik dalam Dunia Gaming

Author